Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TASIKMALAYA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2022/PN Tsm Wiwih Winawati KEPOLISIAN RESOR KABUPATEN TASIKMALAYA CQ KEPALA SATUAN RESERSE KRIMINAL Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 28 Nov. 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2022/PN Tsm
Tanggal Surat Senin, 28 Nov. 2022
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1Wiwih Winawati
Termohon
NoNama
1KEPOLISIAN RESOR KABUPATEN TASIKMALAYA CQ KEPALA SATUAN RESERSE KRIMINAL
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

 

  1. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
  1. Pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), telah diberikan perhatian khusus terhadap Hak Asasi Manusia dari seorang Tersangka/Terdakwa dalam proses pidana seperti halnya perkara yang kita hadapi sekarang ini, dengan bertitik tolak pada konsepsi Negara Hukum ”Rule of Law” dalam arti menurut konsepsi dewasa ini mempunyai sendi-sendi yang bersifat universal seperti ”Pengakuan dan Perlindungan terhadap hak asasi Manusia”, legalitas dari tindakan negara/aparatur negara yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan terjaminnya peradilan yang bebas;
  2. Asas-asas tersebut pada dasarnya bersifat universal dan selalu dikaitkan dengan sendi yang utama, yaitu jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi yang interpretasi atau maknanya selalu diletakkan dalam kerangka pandangan dan budaya serta cita-cita hukum dari bangsa dan negara Indonesia. Meminjam konsep Mudjono, SH., mantan Ketua Mahkamah Agung RI, beliau mengatakan bahwa, ”HAP (KUHAP yang baru) merupakan Declaration of Human Right of Pancasila. Ia milik rakyat yang dipersembahkan para wakil rakyat. Jelas memberi perlindungan, tidak seperti HIR”;
  3. Sebagaimana diketahui bersama bahwa hukum acara pidana bukan membatasi hak warga negara, tetapi membatasi penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum. Salah satu alternatif yang diberikan undang-undang untuk memeriksa benar atau tidaknya tindakan penegak hukum melalui lembaga praperadilan sebagai upaya koreksi horizontal. Lembaga Praperadilan sebagai upaya pengawasan penggunaan wewenang guna menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia, telah dituangkan secara tegas dalam Konsiderans Menimbang huruf (a) dan (c) KUHAP, yang dengan sendirinya menjadi spirit atau ruh atau pula jiwanya KUHAP, yang berbunyi:
  1. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;

(c)  Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang dasar 1945;

Juga ditegaskan kembali dalam Penjelasan Umum KUHAP, tepatnya pada angka 2 paragraf ke-6 yang berbunyi:

“…Pembangunan yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana bertujuan, agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegak mantabnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai Negara Hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”;

  1. Selain itu, Pasal 7 ayat (3) KUHAP mengatur bahwa, “Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku”. Demikian pula ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur bahwa, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisan Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia”;
  2. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikatakan  bahwa:

“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan”.
  1. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”;
  1. Selain objek praperadilan sebagaimana terurai dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP di atas, mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan juga telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan. Eksplisitas legal justifikasi atas penegasannya sebagai wujud bukti bahwa keabsahan penetapan tersangka dan penyitaan merupakan objek praperadilan adalah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, yang pada pokoknya menegaskan:

Mengadili,

Menyatakan:

  1. Mengabulkan permohonan untuk sebagian:
  • [dst]
  • [dst]
  • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
  • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
  1. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan;
  2. Fakta hukum lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, juga telah diakui dalam praktek pengadilan sebagaimana dalam beberapa putusannya, antara lain:
  • Putusan Pengadilan Negeri Bangkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011;
  • Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012;
  • Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel tanggal 27 November 2012;
  • Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015;
  • Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015;
  • Dan lain sebagainya;
  1. Dari uraian fakta hukum sebagaimana terpapar di atas, jelas bahwa tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Oleh karena itu, praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan terpenuhinya perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide, Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka;

 

  1. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
  1. TERMOHON telah melakukan tindakan penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang dan melawan hukum terhadap diri PEMOHON.
  1. Pada tanggal 17 November 2022, Termohon telah melakukan tindakan penangkapan terhadap diri Pemohon secara sewenang-wenang dan melawan hukum, karena bertentangan dengan prosedur hukum yang berlaku, sebagai berikut:
    1. Berdasarkan ketentuan hukum Pasal 18 ayat (1) KUHAP, diatur bahwa, “Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh pertugas kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa”;

Berdasarkan ketentuan hukum Pasal 18 ayat (1) KUHAP tersebut di atas, surat penangkapan TIDAK BOLEH diberikan petugas/penyidik setelah 1X24 jam atau 1 (satu) hari setelah penangkapan itu dilakukan. Akan tetapi FAKTANYA, dalam persitiwa penangkapan Pemohon oleh Termohon a quo Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp.Kap/95/XI/2022/Sat.Reskrim baru dibuat dan diberikan Termohon Kepada Pemohon pada tanggal 18 November 2022;

Dalam hal ini Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal.159) menyatakan bahwa kalua tidak ada surat tugas penangkapan, tersangka berhak menolak mematuhi perintah penangkapan, karena surat tugas itu merupakan syarat formal yang bersifat “imperatif", juga agar tidak terjadi penangkapan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab;

Kemudian Pasal 18 ayat (3) KUHAP mengatur bahwa “Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan”. Dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal.160), Yahya Harahap menyatakan bahwa hal tersebut adalah untuk kepastian hukum bagi keluarga pihak yang ditangkap, sebab pihak keluarga dan tersangka mengetahui dengan pasti hendak kemana dan atas alasan apa tersangka dibawa dan diperiksa. Pemberitahuan penangkapan kepada pihak keluarga yang disampaikan secara lisan dianggap tidak sah, karena bertentangan dengan undang-undang. FAKTANYA, Surat Nomor: B/2322/XI/RES.1.24/2022/Reskrim, Perihal: Pemberitahuan Penangkapan dan Penahanan, baru dibuat dan diberikan Termohon kepada pihak keluarga Pemohon tertanggal 19 November 2022;

  1. Bahwa tindakan penangkapan yang dilakukan Termohon a quo juga bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Pasal 70 ayat (2), Pasal 72, Pasal 75 huruf a dan huruf c Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap No.12 Tahun 2009), yang mengatur:

Pasal 70 ayat (2) Perkap No.12 tahun 2009, menyatakan:

“…Setiap tindakan penangkapan wajib dilengkapi Surat Perintah Tugas dan Surat Perintah Penangkapan yang sah dan dikeluarkan oleh atasan penyidik yang berwenang…”;

Pasal 72 Perkap No.12 tahun 2009, menyatakan:

“…Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan  sebagai berikut:

  1. Tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar;
  2. Tersangka diperkirakan akan melarikan diri;
  3. Tersangka akan diperkirakan akan mengulangi perbuatannya;
  4. Tersangka diperkirakan akan menghilangkan barang bukti;
  5. Tersangka diperkirakan mempersulit penyidikan…”;

Pasal 75 huruf a Perkap No.12 tahun 2009, menyatakan:

“…Dalam hal melaksanakan tindakan penangkapan, setiap petugas wajib:

  1. Memahami peraturan perundang-undangan, terutama mengenai kewenangan dan tata cara untuk melakukan penangkapan serta batasan-batasan kewenangan tersebut…”;

Pasal 75 huruf c Perkap No.12 tahun 2009, menyatakan:

“…Dalam hal melaksanakan tindakan penangkapan, setiap petugas wajib:

c. Menerapkan prosedur-prosedur yang harus dipatuhi untuk tindakan persiapan, pelaksanaan dan tindakan sesudah penangkapan…”;

  1. Bahwa tindakan Termohon dalam perkara a quo, juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 112 KUHAP dan Pasal 113 KUHAP, karena tidak terlebih dahulu memberikan surat panggilan untuk dilakukan pemeriksaan, sebagai berikut:

Pasal 112 KUHAP mengatur bahwa:

  1. Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut;
  2. Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada pertugas untuk membawa kepadanya”;

Pasal 113 KUHAP mengatur bahwa:

“Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya”;

  1. Mengenai tindakan penahanan yang dilakukan Termohon terhadap Pemohon dalam perkara ini, berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat 1 KUHAP, Termohon hanya dapat melakukan tindakan penahanan terhadap Pemohon apabila ada dugaan keras Pemohon melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, adanya kekhawatiran Pemohon yang ditetapkan sebagai tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana;

Sedangkan FAKTANYA, sebagaimana akan kami jelaskan setelahnya bahwa, sama sekali tidak ada bukti yang cukup berdasarkan hukum, yang membuktikan bahwa Pemohon benar-benar melakukan tindakan yang dituduhkan a quo, dan Termohon sama sekali tidak dapat membuktikan kekhawatiran Pemohon akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana;

  1. Bahwa berdasarkan uraian-uraian di atas, terbukti secarahukum bahwa tindakan penangkapan dan penahanan yang dialakukan Termohon kepada Pemohon a quo, merupakan tindakan yang tidak sah, sewenang-wenang dan melawan hukum, sehingga harus dibatalkan;

 

  1. PEMOHON tidak pernah diperiksa sebagai calon Tersangka.
  1. Melalui putusannya No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Begitu pula Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan;
  2. Alasan hukum Mahkamah Konstitusi atas hal tersebut di atas adalah karena KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Hal itu berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti;
  3. Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia);
  4. Mahkamah Konstitusi beranggapan syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk tranparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu;
  5. FAKTANYA, dalam perkara ini terhadap diri Pemohon tidak pernah dilakukan pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka, bahkan Pemohon tidak pernah menerima surat panggilan dalam hal dan kapasitas apapun perkara ini, melainkan langsung dilakukan penangkapan terhadap diri Pemohon pada tanggal 17 November 2022, dan tidak pernah dibuktikan oleh Termohon bahwa Pemohon telah diperiksa sebagai calon tersangka. Sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan terhadap Pemohon;
  6. Berdasarkan kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, mengenai frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Sebagaimana diketahui bahwa Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asa Res Judicata (Putusan Hakim harus dianggap benar) serta berlaku umum (Erga Omnes), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon;
  7. Dengan demikian jelas, bahwa tindakan penetapan tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan Termohon tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan oleh karenanya patut dan adil apabila yang mulia Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo untuk membatalkan penetapan tersangka yang dilakukan Termohon perkara a quo;

 

  1. Tidak pernah ada Penyelidikan atas diri PEMOHON.
  1. Bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui setelah Pemohon menerima Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sp.Kap/95/XI/2022/Sat.Reskrim pada tanggal 18 November 2022. Bahwa apabila mengacu pada Surat Perintah Penangkapan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon. Padahal FAKTANYA, Laporan Polisi Nomor: LP.B/283/XI/2022/SPKT/POLRES TASIKMALAYA/POLDA JABAR tanggal 13 November 2022 a.n. Sdri. NADYA AGUSTIEN, A.Md., Keb., dalam perkara a quo, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (Perkap No.14 Tahun 2012), adalah merupakan Laporan Polisi Model B, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (3) Perkap No.14 Tahun 2012 dimaksud, seharusnya dilakukan pemeriksaan penyelidikan terlebih dahulu;
  2. Dalam hal ini, Yahya Harahap, SH., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal.101) menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari fungsi penyidikan. Dalam istilah buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub dari pada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan dan penyerahan berkas kepada penuntut umum;
  3. Lebih lanjut Yahya Harahap menyatakan bahwa sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana;
  4. Yahya Harahap juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon;
  5. Berdasarkan uraian hukum di atas, jelas bahwa tindakan Termohon –dengan tidak pernah menerbitkan surat perintah penyelidikan atas diri Pemohon, yang melakukan penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka tanpa adanya tindakan pemeriksaan penyelidikan atas diri Pemohon perkara a quo, adalah tindakan sewenang-wenang, tidak sah dan cacat hukum, untuk itu patut untuk dibatalkan;

 

  1. PERMINTAAN GANTI KERUGIAN DAN ATAU REHABILITASI
  1. Berdasarkan seluruh alasan terurai di atas, dihubungkan dengan hak-hak Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 81, Pasal 95 ayat (1), dan Pasal 97 ayat (3) KUHAP serta jaminan prosedur judisial guna pemenuhan kerugian-kerugian dan pemulihan atau rehabilitasi atas tercemarnya nama baik Pemohon dan keluarga di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang menyatakan, “Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah berhak atas kompensasi yang dapat diberlakukan”;
  2. Bahwa akibat tindakan sewenang-wenang Termohon dalam melakukan penangkapan dan penahanan serta penetapan tersangka atas diri Pemohon telah menimbulkan kerugian bagi Pemohon yang dapat diperhitungkan baik moril (immateriil) maupun materil. Bahwa secara materiil sudah dan akan terus mengalami kerugian karena telah kehilangan penghasilan dari usaha dan pekerjaan Pemohon. Kerugian immateriil tidak terkira, kerugian immateriil sulit dihitung namun demi memberi kepastian hukum akibat penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka yang tidak sah oleh Termohon atas diri Pemohon, menyebabkan tercemarnya nama baik Pemohon, hilangnya kebebasan, menimbulkan dampak psikologis terhadap Pemohon dan keluarga Pemohon yang tidak dapat dinilai dengan uang, sehingga dibatasi dengan jumlah Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah);

 

  1. PETITUM

Berdasarkan pokok-pokok serta alasan dan uraian fakta-fakta hukum di atas, Pemohon memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Klas IA Tasikmalaya c.q. Hakim yang memeriksa permohonan ini berkenan memberikan putusan sebagai berikut :

  1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan tindak pidana penipuan dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah Tidak Sah dan Tidak Berdasarkan Hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  3. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
  4. Menyatakan tindakan penangkapan dan penahanan atas diri Pemohon Tidak Sah Secara Hukum karena melanggar ketentuan KUHAP;
  5. Memerintahkan Termohon agar segera mengeluarkan/membebaskan Pemohon atas nama Wiwih Winawati dari Rumah Tahanan Negara Kepolisan Resor Tasikmalaya;
  6. Memerintahkan Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
  7. Menghukum Termohon untuk membayar ganti kerugian kepada Pemohon sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) secara tunai dan sekaligus;
  8. Memulihkan hak-hak Pemohon, baik dalam kedudukan, kemampuan, harta serta martabatnya;
  9. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku;

 

Pemohon sepenuhnya memohon kebijaksanaan yang terhormat Ketua Pengadilan Negeri Klas IA Tasikmalaya c.q. Hakim yang memeriksa permohonan Pemohon a quo, dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

 

ATAU:

Mohon putusan yang seadil-adilnya.

Pihak Dipublikasikan Ya