Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TASIKMALAYA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2017/PN Tsm Drs. ANWAR SIDIK HIDAYAT KEJAKSAAN NEGERI KABUPATEN TASIKMALAYA Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 08 Mei 2017
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2017/PN Tsm
Tanggal Surat Senin, 08 Mei 2017
Nomor Surat 015/P/KHMB/V/2017
Pemohon
NoNama
1Drs. ANWAR SIDIK HIDAYAT
Termohon
NoNama
1KEJAKSAAN NEGERI KABUPATEN TASIKMALAYA
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

I.    DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
a.    Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) Praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai Tersangka/Terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, Praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak Tersangka/Terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi Tersangka.
b.    Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :--------------
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :----------------------------------------------------------------------
Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
c.    Bahwa selain itu yang menjadi objek Praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah :-----------
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
d.    Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan Praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
e.    Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :------------------------------------------------------------
Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011;
Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012;

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012;
 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015;
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015;
 Dan lain sebagainya;
f.    Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan Tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :----
Mengadili,
Menyatakan :
Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
[dst]
[dst]
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
g.    Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

II.    ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
1.    PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA SEBELUM TERBITNYA SURAT PERINTAH PENYIDIKAN
Bahwa berdasarkan Surat Panggilan Tersangka Nomor : SP.04/O.2.37/Fd.1/04/2017 tanggal 27 april 2017 diketahui bahwa dasar hukum penetapan Pemohon sebagai Tersangka adalah surat Penetapan Kepala kejaksaan Negeri Kab. Tasikmalaya Nomor Print-72/O.2.37/Fd.1/02/2017 tanggal       03 februari 2017, dan Penyidikan terhadap pemohon berdasarkan Surat perintah Penyidikan Kepala kejaksaan Negeri Nomor print – 73/O.2.37/Fd.1/02/2017 tanggal 06 Februari 2017. Disini terlihat jelas bahwa Termohon melakukan kesewenang-wenangan terhadap diri pemohon karena pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka sebelum Penyidikan dimulai. Bahkan tidak pernah dilakukan proses penyelidikan terhadap diri Pemohon atas dugaan tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya.

Bahwa pengertian Penyidikan Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa :----------------------------

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
    
Rumusan Pasal 1 angka 2 KUHAP menyatakan dengan jelas terdapat dua hal yang dapat dilakukan penyidik yakni mengumpulkan bukti dan menemukan tersangkanya. Hal itu untuk menjabarkan ranah tugas pokok fungsi antara kewenangan “mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi” dan kewenanangan “menemukan tersangkanya” sehingga jelas bahwa Tersangka dapat ditemukan dan/atau ditetapkan sebagai Tersangka setelah penyidik mengumpulkan alat bukti.

Bahwa berkaitan dengan hubungan tak terputus antara penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat Penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.
Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.

Selanjutnya jika melihat prosedur penetapan Tersangka di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia diatur dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 12/2009) disebutkan bahwa :

1)    Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti.

2)    Untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan melalui gelar perkara.

bahwa tidak terlepas dari Perkap Nomor 12/2009, seyogianya prosedur penetapan tersangka oleh Kejaksaan pun mengacu kepada definisi Penyidikan yang telah dirumuskan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP sehingga tidak dibenarkan seseorang ditetapkan sebagai Tersangka terlebih dahulu sebelum adanya penyidikan yang dibuktikan dengan Sprindik Kepala kejaksaan Negeri Kab. Tasikmalaya Nomor print – 73/O.2.37/Fd.1/02/2017 tanggal 06 Februari 2017 padahal Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka sejak Tanggal 03 Februari 2017.

2.    PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA
Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
“Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka.
Berdasar pada Surat Panggilan untuk pertama kali dan satu-satunya oleh Termohon, yakni melalui surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor surat panggilan tersangka Nomor : SP.04/O.2.37/Fd.1/04/2017 tanggal 27 april 2017 Pemohon langsung dipanggil sebagai Tersangka oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon. Adapun Pemohon hanya pernah diperiksa sebagai saksi untuk memberikan keterangan pada kasus lain dengan Tersangka dan atau calon tersangka yang lain, bukan diri Pemohon.
Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini termasuk oleh Penyidik kejaksaan negeri kab. Tasikmalaya.
Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.
3.    BAHWA DUGAAN KERUGIAN UANG NEGARA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI PENYIMPANGAN DALAM PENGADAAN LANGSUNG MEUBELAIR, PERLENGKAPAN DAN PERALATAN KANTOR  BAGIAN UMUM SETDA KABUPATEN TASIKMALAYA TAHUN 20011-2012 TELAH DIKEMBALIKAN
Bahwa pada prinsipnya politik hukum undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia adalah untuk menyelamatkan aset, keuangan dan/atau perekonomian Negara sehingga unsur kerugian negara adalah unsur utama yang perlu dibuktikan dalam hal terjadinya suatu dugaan tindak pidana korupsi.

Definisi Kerugian negara  sendiri dapat dilihat dalam Undang-undang NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA  Pasal 1 ayat (22) :----------------------------------------------

“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Oleh karena itu kerugian negara itu harus pasti, tidak menerka-nerka dan harus dilakukan penghitungan kerugian negara”.  
    
    Adapun bukti yang menunjukan urgensi unsur kerugian keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, yaitu terhadap kerugian keuangan negara ini membuat UU Korupsi, baik yang lama yaitu UUD no.3 tahun 1971 maupun yang baru yaitu UU no.31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun 2001, menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan negara itu harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi.

Sedemikian pentingnya spirit penyelamatan keuangan Negara, pengembalian kerugian keuangan negara difasilitasi oleh undang-undang melalui dua instrumen hukum, yaitu instrumen pidana dan instrumen perdata. Instrumen pidana dilakukan oleh penyidik dengan menyita harta benda milik pelaku dan selanjutnya oleh penuntut umum dituntut agar dirampas oleh Hakim. Instrument perdata dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) atau instansi yang dirugikan terhadap pelaku korupsi (tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya bila terpidana meninggal dunia). Hal ini dimungkinkan agar semakin banyak jalan untuk mengganti kerugian Negara.

Bahkan selanjutnya apabila penyidik menangani kasus yang secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsur-unsur pidana korupsi, maka penyidik menghentikan penyidikan yang dilakukan namun selanjutnya penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikannya kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas tersangka yang telah merugikan keuangan negara tersebut (pasal 32 ayat (1) UU no.31 tahun 1999)
    
Maka berdasarkan hal hal tersebut daiatas sedemikian pentingnya unsur kerugian negara harus dibuktikan dan tentunya dalam proses penyidikan jelas harus telah terbukti dan telah dihitung kerugian negara sehingga perbuatan tersebut dapat dikatakan tindak pidana korupsi.
    
Bahwa adapun dugaan perbuatan tindak pidana korupsi penyimpangan dalam pengadaan langsung meubelair perlengkapan dan peralatan kantor pada bagian umum setda kabupaten tasikmalaya tahun anggaran 2011-2012 yang dituduhkan kepada Pemohon tentunya tidak akan ditemukan kerugian negara karena nominal kerugian negara telah dibayarkan ganti-ruginya oleh pihak lain yang telah terlebih dahulu diadili dan didakwa atas perkara yang sama yaitu Kepala Bagian Umum Setda kab. Tasikmalaya.
    
    bahwa dengan demikian, jumlah kerugian Negara sudah tidak dapat diperhitungkan kembali dan oleh karena itu perkara dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan dalam pengadaan langsung meubelair perlengkapan dan peralatan kantor pada bagian umum setda kabupaten tasikmalaya tahun anggaran 2011-2012 ini dengan sendirinya harus dihentikan.

Dalam hal pembuktian unsur kerugian negara, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya Nomor 25/PUU-XIV/2016 telah menghapus kata frasa “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 seperti telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Maka dengan demikian delik korupsi yang selama ini sebagai delik formil berubah menjadi delik materil yang mensyaratkan ada akibat nyata yakni unsur kerugian keuangan negara harus dihitung secara pasti.

Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menilai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor terkait penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan adanya akibat (delik materil). Tegasnya, unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss) , tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) dalam tipikor.

“Pencantuman kata ‘dapat’ membuat delik kedua pasal tersebut menjadi delik formil. Padahal, praktiknya sering disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara termasuk kebijakan atau keputusan diskresi atau pelaksanaan asas freies ermessen yang bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya. Ini bisa berakibat terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang. Ketika kedua pasal ini dipandang sebagai delik formil menyebabkan pejabat publik takut mengambil kebijakan atau khawatir kebijakan yang diambil akan dikenakan tipikor. Akibatnya, bisa berdampak stagnasi proses penyelenggaraan negara, rendahnya penyerapan anggaran, dan terganggunya pertumbuhan investasi. Maka dengan kata lain, kriminalisasi kebijakan terjadi karena ada perbedaan pemaknaan kata ‘dapat’ dalam unsur merugikan keuangan negara oleh aparat penegak hukum.

Pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian hukum dan secara nyata bertentangan dengan jaminan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Selain itu, kata “dapat” ini bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip hukum harus tertulis (lex scripta) , harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta) , dan tidak multitafsir (lex certa) . Hal ini juga bertentangan dengan prinsip negara hukum seperti ditentukan Pasal 1 ayat (3) UUD 194,”.

Penerapan unsur merugikan keuangan Negara dengan konsepsi actual loss lebih memberi kepastian hukum yang adil dan sesuai upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrumen hukum nasional dan internasional. Seperti dalam UU Administrasi Pemerintahan, UU Perbendaharaan Negara, UU BPK, dan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 2006. Karena itu, konsepsi kerugian negara yang dianut dalam arti delik materiil, yakni suatu perbuatan dapat dikatakan merugikan keuangan negara dengan syarat harus adanya kerugian negara yang benar-benar nyata atau aktual.

Apalagi, Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 UU BPK telah mendefiniskan:

“Kerugian negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Konsepsi ini sebenarnya sama dengan Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor yang menyebut secara nyata telah ada kerugian negara yang dapat dihitung oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.”
Dengan begitu, memperhatikan perkembangan pengaturan dan penerapan unsur merugikan keuangan negara terdapat alasan mendasar untuk mengubah penilaian konstitusionalitas putusan sebelumnya. Sebab, penilaian sebelumnya telah nyata berulang-ulang justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam upaya pemberantasan korupsi.

kata “ dapat ” menimbulkan rasa takut dan khawatir bagi orang yang sedang menduduki jabatan pemerintahan. Sebab, setiap mengeluarkan keputusan atau tindakan dalam jabatannya dalam ancaman delik korupsi. Sejak UU Adminitrasi Pemerintahan terbit, kesalahan administrasi yang merugikan keuangan negara belum tentu memenuhi unsur tipikor. Jadi, aparatur sipil negara (ASN) yang diduga melanggar peraturan administrasi karena kesengajaan, kelalaian atau tidak patut baru menjadi delik korupsi apabila ada niat jahat (mens rea), bukan karena jabatannya. Maka unsur tindak pidana korupsi dperiksa setelah menempuh prosedur penyelesaian hukum administrasi terlebih dulu.

4.    PERBUATAN PEMOHON YANG TELAH MEMBUAT DOKUMEN-DOKUMEN PENGADAAN LANGSUNG MEUBELAIR, PERLENGKAPAN DAN PERALATAN KANTOR  BAGIAN UMUM SETDA KABUPATEN TASIKMALAYA TAHUN 20011-2012 TELAH SESUAI DENGAN TUPOKSI SEBAGAIMANA SURAT KEPUTUSAN SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR : 027/Kep.04-Um/2011.
berdasarkan surat keputusan sekretaris daerah kabupaten tasikmalaya nomor: 027/kep .04-Um/2011. Pemohon ditetapkan sebagai pejabat pembuat komitmen ( PPK) di satuan kerja sekretariat daerah kabupaten tasikmalaya, hal mana PPK mempunyai tugas pokok dan wewenang, antara lain :
1)    Menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan barang/jasa
2)    Menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa
3)    Menandatangani Kontrak
4)    Melaksanakan kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa
5)    Mengendalikan pelaksanaan kontrak
6)    Melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan barang/Jasa kepada PA/KPA
7)    Menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan berita Acara Penyerahan
8)    Melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan dan
9)    Menyimpan dan menjaga keutuhan dokumen pelaksanaan Pengadaan barang/ Jasa
Tugas-tugas lain dari PPK selain tersebut di atas antara lain :
1)    Mengusulkan kepada PA/KPA :
2)    Perubahan paket pekerjaan, dan/atau
3)    Perubahan jadwal kegiatan pengadaan
4)    Menetapkan tim pendukung
5)    Menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis (aanwijzer) untuk membantu pelaksanaan tugas Unit Layanan Pengadaan
6)    Menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada penyedia barang/jasa. Sebagaimana diatur dalam Perpres 70/2012, pasal 11

Bahwa dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Pembuat komitmen (PPK) dalam melakukan tugasnya adalah bertanggung jawab kepada Kuasa Penerima anggaran/Pengguna anggaran dalam hal ini pemohon nertanggung jawab kepada bupati dan sekretaris daerah kab. Tasikmalaya.
Bahwa adapun tindakan pemohon dalam melaksanakan tugasnya sebagai PPK dalam pelaksanan pengadaan langsung meubelair, perlengkapan dan peralatan kantor Setda Kab. Tasikmalaya Tahun Anggaran 2011-2012 dimana pada faktanya barang barang tersebut terlebih dahulu sudah terjadi pengiriman tahun 2010 sebelum pemohon menjabat ppk adalah semata mata karena perintah atasan atau pejabat yang dalam hal ini adalah termasuk bupati dan pejabat lain yang mengetahui proses pengadaan dimaksud.
Bahwa seseorang dalam Melaksanakan perintah jabatan merupakan salah satu alasan menghapus pidana yang dikenal dalam KUHP. Alasan penghapus pidana dalam KUHP meliputi alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond). ‘Melaksanakan perintah jabatan’ termasuk bagian dari alasan pembenar. Alasan lainnya adalah keadaan darurat (noodtoestand), pembelaan terpaksa (noodweer), dan melaksanakan perintah undang-undang. Alasan penghapus pidana juga dikenal dalam perundang-undangan di luar KUHP.
Rumusan tentang ‘perintah jabatan’ (ambtelijk bevel) diatur dalam pasal 51 KUHP. Ayat (1) pasal ini menyebutkan barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Selanjutnya, ayat (2) menyatakan perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Adapun yang dimaksud ‘perintah’ dalam pasal 51 KUHP ini sebagaimana dapat dikutip dari putusan Hoge Raad 17 Desember 1899 No. 6603, E. Utrecht  (1999: 377) berpendapat perintah di sini tidak hanya mencakup perintah dalam arti konkrit, tetapi juga suatu instruksi yang bersifat umum.
Perintah jabatan atau ambtelijk bevel dapat diartikan sebagai suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan, dimana kewenangan untuk memerintah semacam itu bersumber pada suatu ambtelijke positie atau suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah (P.A.F Lamintang, 1984: 500).
Yang penting, kata Andi Hamzah (1994: 163), perintah itu diberikan karena jabatan. Jadi, antara yang memberi perintah dan orang yang diperintah ada hubungan hukum publik. Perintah yang diberikan pejabat pekerjaan umum kepada pemborong berdasarkan hukum perjanjian tidak masuk kategori ‘perintah jabatan’. Menurut S.R. Sianturi (1996: 290), hubungan hukum itu harus menurut hukum publik. Posisi pemberi perintah harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan dari hukum publik. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar bisa disebut perintah jabatan, yakni (i) ada hubungan antara pemberi perintah dengan pelaksana perintah berdasarkan hukum publik; (ii) kewenangan pemberi perintah harus sesuai dengan jabatannya berdasarkan hukum publik tersebut; dan (iii) perintah yang diberikan itu termasuk dalam lingkungan kewenangan jabatannya.
Bahwa tindakan pemohon dalam membuat dokumen pengadaan barang dan jasa dalam hal ini meubeuleur dan peralatan kantor lainnya dilingkungan sekretariat daerah kab. Tsikmalaya adalah merupakan pelaksanaan perintah jabatan yang diperintahkan langsung oleh KPA dalam hal ini Bupati dan sekretaris daerah kab. Tasikmalaya  sehingga hal ini menjadi alasan pemaaf bagi pemohon walaupun dalam perkara pngadaan barang & jasa aquo telah trjadi tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan negara maka tindakan pemohon tidak dapat dipidana. Terlebih terjadinya pengadaan barang dan jasa tersebut telah terjadi sebelum pemohon menjabat sebagai PPK.
5.    TELAH DIAJUKAN GUGATAN PERDATA ATAS KEGIATAN PENGADAAN LANGSUNG MEUBELAIR, PERLENGKAPAN DAN PERALATAN KANTOR  BAGIAN UMUM SETDA KABUPATEN TASIKMALAYA TAHUN 2011-2012 OLEH CV. MITRA TERHADAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA.
Bahwa perbuatan yang dituduhkan terhadap diri Pemohon adalah kegiatan Pengadaan Langsung Meubelair, Perlengkapan Dan Peralatan Kantor  Bagian Umum Setda Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2011 2012. Namun ternyata atas permasalahan tersebut pernah diajukan gugatan perdata oleh Sdri. Yohana selaku pemilik CV. Mitra terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya nomor register: 20/PDT.G/2014/PN.Tsm tanggal 7 Maret 2014. Hal ini menunjukan dengan jelas bahwa kegiatan Pengadaan Langsung Meubelair, Perlengkapan Dan Peralatan Kantor  Bagian Umum Setda Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2011 2012 seharusnya sudah tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi jika dituduhkan kepada Pemohon.
Adapun selebihnya telah dikemukakan bahwa kalaupun benar ditemukan kerugian negara maka jumlah kerugian negara tersebut telah selesai dibayarkan seluruhnya oleh pihak lain yang telah selesai di proses dan menjadi terpidana atas perkara yang sama.
Penetapan Pemohon sebagai Tersangka menjadi hal yang jelas sangat dipaksakan dimana, Pertama dari segi objek barang atau kegiatan pengadaan ternyata sebelumnya pernah muncul gugatan perdata yang telah selesai dengan akta perdamaian antara CV. Mitra selaku Penggugat dengan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya sebagai Tergugat. Tentunya komitmen apapun adalah menjadi Tanggung Jawab Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya secara Instansi, dan Pemohon dalam hal ini tidak tahu menahu karena hanya melaksanakan jabatannya. Kedua, dari segi pertanggungjawaban pidana, KPA kegiatan pengadaan meubelair langsung tahun anggaran 2011 2012 telah selesai di proses dan dipidana, dan ketiga kerugian negara telah selesai dibayarkan.
6.    PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM DAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW
Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.

Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’
Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :---------
– Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
– Dibuat sesuai prosedur; dan
– Dubstansi yang sesuai dengan objek Keputusan
Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan Tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.
Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :
“Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan
Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai Tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kls. 1A Tasikmalaya yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan Tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

III.    PETITUM
Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kls. 1A Tasikmalaya yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :--------------------------------------------------
1.    Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
2.    Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dalam Pengadaan Langsung Meubelair, Perlengkapan Dan Peralatan Kantor  Bagian Umum Setda Kabupaten Tasikmalaya Tahun 20011-2012 oleh Kejaksaan Negeri Kabupaten Tasikmalaya adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3.    Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan Tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
4.    Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
5.    Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
6.    Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
PEMOHON  sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kls. 1A Tasikmalaya yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

 

Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kls. 1A Tasikmalaya yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

 

Pihak Dipublikasikan Ya